"Sulet nyan desya. Ureung leu desya, tempat jih lam krak nuraka" (bohong itu dosa. orang berdosa, tempatnya di neraka). Saat kanak-kanak dulu, kalimat ini begitu sering saya dengarkan, baik itu di ucapkan oleh Ummi, guru di sekolah maupun oleh Teungku di rumah pengajian. Mungkin karena faktor inilah hingga membuat saya sangat takut untuk berbohong, saat itu.
Hari berganti hari, bulan bergantian menjadi hitungan tahun hingga saya benar-benar melakukan sebuah kebohongan terbesar dan juga terkonyol dalam sejarah hidup saya. Memang, hingga saat ini, sudah banyak kebohongan yang saya lakukan. Mulai kepada teman, dalam pergaulan sehari-hari. Kepada orang tua, saat keasyikan main sampai-sampai telat pulang ke rumah kemudian di tanyai "sudah shalat ?", Tapi karena takut kena marah lalu harus mengganti shalat dengan 4 kali lipat, terus jawab "sudah", padahal belum. Kepada guru, saat pura-pura sakit, saat bolos sekolah kemudian pergi main PS tetapi titip surat ke teman dengan alasan sakit atau izin. Saat interview masuk kerja, dan masih banyak kebohongan-kebohongan kecil lainnya yang telah saya lakukan. Walaupun dengan niat kebaikan untuk diri sendiri, tetapi yang namanya berbohong tetaplah bohong dan dosa, hukumnya. Saya tidak bangga dengan catatan-catatan hitam dalam sejarah kehidupan saya ini, tetapi inilah bumbu kehidupan. Baik dan buruk itu merupakan satu paket yang telah ada dalam diri kita, namun tergantung kepada kita untuk mengoptimalkan potensi kebaikan atau keburukan yang ada dalam diri kita ini. Untuk itu, saya harap pembaca tidak mencontoh keburukan yang ada pada diri saya ini. Namun, sedikit dari sekian banyak kebohongan yang telah saya lakukan, seingat saya, mungkin hanya ada dua kebohongan terkonyol, terbodoh dan terpalsu yang pernah dan telah saya lakukan, yaitu kebohongan yang saya namakan "kebohongan dua sidang". Yang pertama yaitu kebohongan kepada Abi di saat sidang karena kedapatan rokok di dalam lemari, oleh ummi. Dan satunya lagi, di saat sidang presentasi tugas akhir. Dan dua kebohongan inilah yang akan saya ceritakan di dalam tulisan singkat ini.
Gagal berbohong - Edisi 1
Gagal berbohong - Edisi 1
Sidang Kedapatan Merokok
Saat itu tahun 1998, berarti usia saya saat itu lebih kurang 9 tahun. Selepas pulang ngaji, kira-kira pukul 20.30. Seperti biasanya, saya, abang dan kedua adik saya, lomba lari pulang ke rumah. Sesampai di rumah, masih seperti biasa, sambutan kasih sayang dari Ummi selalu menjadi pemandangan yang syahdu bagi Abi. Suasana damai dan tentram masih tetap kami rasakan di rumah permanen yang telah Abi bangun, sejak beberapa tahun silam. Tanpa merasa bersalah karena telah melakukan kesalahan dan tanpa ada rasa curiga, aktifitas kami selanjutnya adalah menikmati makan malam bersama. Nasi putih dan lauk pauk seadanya, jika itu buatan Ummi, maka nikmat dan lezat sudah tentu itu rasanya. Saat itu kami tampo (makan) dan khop-khop (santap) nasi itu dengan sangat lahap hingga membuat makanan di meja makan, habis seketika. Makan malam selesai, maka saatnya belajar. Selain shalat tepat waktu, inilah aturan kecil yang di buat Abi untuk kami, anak-anaknya. Dan kami mesti dan wajib patuh untuk menjalankan setiap aturan yang telah Abi buat dalam keluarga kecilnya.
Beberapa menit berlalu, di saat kami berpencar dan menghilang ke kamar untuk belajar, tiba-tiba Abi memanggil kami berempat. Masih tanpa merasa bersalah dan curiga, kami pun dengan muka manis, culun dan imut bergegas menghampiri Abi. Saat itu, salah satu adik saya bertanya, "kiban Abi ?" (ada apa ayah ?), tanyanya polos. "Ci dong bareih dilee disino" (coba baris dulu disini), pinta Abi. Tidak seperti biasanya, ini pasti ada masalah, batin saya mulai curiga, saat itu. "Abang na meurukok ?" (Abang ada merokok ?), Abi bertanya. "Han" (tidak), jawab Abang. Kamil ?, tanya Abi pada saya. "Hana cit" (tidak juga), jawab saya dengan nada sedikit gemetar. Maklum, mungkin ini kebohongan pertama dalam riwayat hidup saya sejak dilahirkan hingga saat itu telah menginjak usia 9 tahun ( :D sedikit lebay... hohoho :) ). Adun ? Adek ? , tanya Abi lagi. Serentak mereka berdua menjawab, "Hana, Abi" (tidak, ayah). "Seumulet, peu hukom jih ?" (berbohong, apa hukumnya ?), tanya Abi kepada kami. "Desya" (dosa), jawaban kami serentak. "Ureung leu desya, oeh uroe dudo, pat tempat jih ?" (orang banyak dosa, nanti di akhirat dimana tempatnya ?), Abi kembali bertanya. "Nuraka" (neraka), jawab kami. "Nyo sigoe teuk Abi tanyoeng, Abang, Kamil, Adun ngeun Adek, na meurukok ?" (sekali lagi Ayah tanya, kalian ada merokok ?). Masih dengan jawaban yang sama, kami berempat menjawab "Hana, Abi" (tidak, ayah). Tiba-tiba Ummi keluar dengan membawa barang bukti, 3/4 sisa dari semulanya sebungkus rokok yang nama dan merek rokok tersebut saya sudah lupa namanya. Tapi sampulnya masih ingat, ungu dengan gambar daun berwarna hijau di bungkusannya. Iya, itu dia. Itu warna bungkusannya. Bukan Comodore atau Panamas, tapi sebungkus rokok dengan bungkusan berwarna ungu dan gambar daun berwarna hijau. Itu dia rokoknya.
Hati mulai dag dig dug, keringat dingin mulai bercucuran, "kapalo, meuramah teuh.. anco teuh malam nyo" (celaka, hancurlah saya malam ini), pikiran saya mulai memikirkan efek yang akan terjadi selanjutnya. "Nyo peu ? sepoe nyo ?" (ini apa ? punya siapa ini ?), tanya Abi sambil meminta rokok yang di bawa Ummi dan meletakkannya di atas meja. "Hom" (entah), salah satu dari kami menjawab. Tapi lupa lagi, entah siapa yang menjawab itu. Nasi sudah menjadi bubur (kebohongan sudah terlanjur), keadaan kami saat itu. Dan saya pun teringat akan sebuah petuah orang-orang zaman "Menyo manoe, basah beu bulut" (kalau mandi, mandi sampai tuntas). "But bek sikhan-khan. Menyo meubut, meubut beu abeih-abeih meuhan enteuk meurumpok inong sikhan sapeu" (kalau melakukan sebuah pekerjaan itu jangan setengah-setengah, harus tuntas. Kalau tidak, nanti bakal ketemu istri waria (lebih kurang begitulah artinya)). Karena mengingat itu, akhirnya saya mentransformasikan arti petuah tersebut menjadi "kebohongan ini harus terus di lanjutkan kalau tidak, nanti istri saya waria pula", :o Hufft.... pikiran dangkal saya saat itu. Sudah ketahuan berbohong, tetapi masih juga mau berbohong lagi. Hadeuh... parah -_- .
"Kiban hom ? Nyo Ummi teume dalam lemari baje kamil" (bagaimana tidak tahu ? ini Ummi temukan di dalam lemari baju kamil), Abi bertanya dan berkata masih dengan nada tenang. Mungkin, ini cara Abi agar tidak menjatuhkan mental anak-anaknya yang kurang ajar ini, saat itu.
Asal pembaca tahu saja, Abi saya kalau marah, ukuran lampu di rumah saja bisa padam dengan sendirinya. Begitulah kira-kira perumpamaan kedahsyatan kekuatan dan kegarangan Abi saya. Sedikit lari dari cerita awal, Pernah dulu, gara-gara saya tidak sekolah dan tidak dapat memberikan alasan yang jelas, saya di "Hamoek" (pukul) sama Abi dengan gagang sapu dan bantal guling hingga "jipoe iek" (keluar kencing), kemudian "geusenom lam kulam" (di ceburkan ke dalam kolam), kemudian di kunci di dalam kamar mandi. Kiban, na yo ? hhihihii... :D
Ouh, iya,.. salah satu dari sekian banyak sifat Abi yang paling saya kagumi ialah prinsip yang tegas terhadap aturan dan sangat bertanggung jawab terhadap tanggung jawab masing-masing. Hahaha.... Kiban, na genk ? (y) nyan cap. Inilah Abi saya yang sangat kuat, gagah, perkasa dan genk, tentunya. Kembali ke cerita awal. Mendengar pertanyaan dan perkataan Abi saat itu. Mencoba menjadi pahlawan untuk Abang dan Adik-adik, saya pun berinisiatif mengambil alih keadaan dengan merangkai cerita terkonyol dan terbodoh dalam sejarah hidup saya. Sebuah cerita pencurian, itu judul yang saya angkat saat itu. Berharap dapat mengelabui dan bisa membohongi Abi, sedikit demi sedikit saya mulai merangkai cerita. (jangan tanya cerita lengkapnya, karena dalam tulisan ini tidak saya maksudkan untuk menceritakan cerita itu). Hingga sampailah ke inti kekonyolan dan kebodohan dari cerita yang saya ceritakan saat itu, "Kadang malam baro na itamoeng pencuri u rumoh tanyo, itamoeng lam kama kamil, tapi hana icu sapeu, ipuduk rukok nyan mantoeng lam lemari, leuh nyan i plueng teuma" (mungkin malam kemarin ada masuk pencuri ke rumah kita, dia masuk ke kamar kamil, tapi dia tidak mencuri, cuma menaruh rokok itu saja di dalam lemari, kemudian dia lari), berharap Abi bisa percaya, itu cerita yang saya karang saat itu.
Asal pembaca tahu saja, ya. Saat itu, cerita ini sangat menggelegar dan membahana membelah khatulistiwa, sekira-kiranya jika di buatkan sebuah buku cerita, dan di pasarkan, mungkin, untuk saat itu cerita itu akan memperoleh predikat "Best Seller". :) . Tapi apa hendak di kata, di atas langit masih ada langit, Abi saya yang sudah kenyang merasakan asam sunti garam asin bumbu kehidupan, tidak percaya terhadap cerita yang saya karang itu. Memang karena sifat saya yang tidak mudah menyerah, saya tidak patah arang dan "mem peu o" (menyuruh mengiyakan) cerita itu dengan menjebak Adik-adik saya demi mencari dukungan untuk meyakinkan Abi dan Ummi. Yang saat itu, Ummi masih setia dan terus duduk manis di samping Abi, melihat kami di sidang. Bagi saya saat itu, cerita ini sangatlah logis dan keren, maklum, saat itu saya masih terlalu cupu, labil ekonomi karena belum mengenal kudeta cinta, belum "peunoh pikiran" tetapi bukan gila namun masih terlalu anak-anak. "Meuno mantoeng, nyo Abi cok sumpah, kiban ?" (begini saja, kalau Ayah ambil sumpah, gimana ?), tanya Abi. Belum sempat menjawab, Abi kembali menimpali pertanyaannya dengan perkataan "Jinoe Abi yu bak Ummi untuk peu su-um minyeuk, Miseu awak Kamil seumulet, minyeuk nyan han su-um, tapi menyo sulet, jaroe awak Kamil, anco teu goreng" (sekarang Ayah suruh sama Ibu untuk memanaskan minyak, kalau kalian tidak berbohong, minyak ini tidak akan panas. tetapi, kalau berbohong, minyak ini akan membuat tangan kalian hancur tergoreng). Wah, yang benar saja, pikir saya saat itu. Memang, kedua kakek saya (Ayahnya Abi dan Ayahnya Ummi) orang Aceh Selatan, tetapi saat itu saya tidak tahu kalau ada jenis-jenis kekuatan magic seperti itu. Karena merasa takut, akhirnya dengan menangis kami semua mengaku. Dan dengan sedikit penjelasan, Abang saya berkata kepada Abi, bahwa itu bukan rokok kami, tapi itu adalah rokoknya "cut adi (belox)" (Adik sepupu Ummi, tp sebaya sama kami). "Nyan hana perle peugah. Na meurukok ? nyan yang Abi tanyoeng" (Itu tidak perlu. Ada merokok ? itu yang Ayah tanya). "Na" (Ada), jawab kami sambil menangis. "Bunoe peu cit peugah hana ?" (Tadi kenapa juga bilang tidak ada ?), tanya Abi lagi. "Hana"(Tidak), jawaban kami. "Bek Hana. yang Na, peugah bak Abi" (Jangan yang tidak ada, yang ada-ada saja katakan kepada Ayah). Hmm... hik hk..hik.... :'( , hanya suara tangisan yang dapat mewakili jawaban kami untuk saat itu. "Nyo Abi tanyoeng. Eik meurukok loem ?" (sekarang Ayah tanya, kalian akan merokok lagi ?). "Abang, kiban ?" (Abang, bagaimana ?). "Han" (Tidak). Kamil ? "Han lee cit Abi" (Tidak akan pernah lagi Ayah). "Adun ngeun Adek ?" (Adun dan Adik ?). "Han" (Tidak).
Inilah kebohongan terbesar, terkonyol, terbodoh dan terlucu yang pernah saya lakukan. Mengingat cerita yang saya karang saat itu, saya merasa malu pada diri sediri dan kadang-kadang juga senyum-senyum sendiri karena betapa bodohnya cara saya berbohong saat itu. Tetapi, hikmah di balik kejadian itu, hingga saat ini saya tidak lagi merokok. Tetapi, berbohong masih tetap lanjut namun sudah sedikit profesional dan expert, termasuk di dalam tulisan ini ada sedikit bumbu-bumbu kebohongan. Walaupun cerita ini adalah fakta dalam kehidupan saya, tetapi sengaja saya ingkripsikan (balut) dengan sedikit bumbu kebohongan agar tulisan ini dapat dengan mudah di mengerti oleh pembaca.
"JIKA SAYA BERKATA SAYA PEMBOHONG, APAKAH SAYA TERMASUK ORANG YANG JUJUR ?"
bersambung ke "Gagal berbohong - Edisi 2 (Sidang Tugas Akhir)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar